Membuka Mata untuk Masyarakat Desa
Membuka Mata untuk Masyarakat
Desa
Judul :
Aib dan Nasib
Penulis :
Minanto
Penerbit :
Marjin Kiri
Kota
terbit : Tangerang Selatan
Tahun
terbit : 2020
Tebal halaman : 263 halaman
Lama
baca : 3 hari
Membaca buku yang sudah punya embel-embel “pemenang” penghargaan buku tentu bakal menjadi pengalaman yang seru. Meskipun selera
orang berbeda, tetapi pasti ada alasan tersendiri bahwa suatu judul bisa
membawa pulang titel tersebut. Salah satu ajang kepenulisan yang sering
melahirkan judul-judul kece adalah Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta.
Sayembara ini tiap tahun selalu memberikan judul-judul unik pemenangnya.
Beberapa karya yang dimenangkan pada ajang ini sering tidak terpaku pada format
lama kepenulisan novel, dan mempunyai ciri eksperimental yang baru sehingga
selalu ada kebaruan dalam membaca judul-judul yang menjadi juara dari sayembara
DKJ.
Salah satu jebolan dari sayembara itu adalah novel
berjudul “Aib dan Nasib” karya Minanto. Hebatnya, novel ini adalah novel
pertama yang ditulis oleh Minanto, dan langsung memenangi sayembara novel DKJ.
Novel ini juga punya kedekatan khusus dengan gw sebab cerita di novel terjadi
di desa bernama Tegalurung, di Kabupaten Indramayu. Gw yang juga “wong thermayou”
ikut senang ketika tahu ada orang dermayu yang menang sayembara nulis. Meskipun
beda kampung, tetapi kan sama-sama dermayu, he-he. Buku ini agak susah untuk
didapat, sebab tidak dijual di toko buku Gramedia, dan cuma bisa dibeli di toko
buku online independen (seperti berdikari). Beruntung gw bisa baca buku
ini setelah dipinjemin teman.
Novel aib dan nasib ditulis dengan menerabas stigma terhadap
masyarakat perdesaan yang akrab diberitakan sebagai kumpulan orang yang baik,
suci, polos, dan cenderung mudah dimanipulasi. Jika ada sinetron yang
menceritakan masyarakat desa yang merantau ke kampus, sering ia digambarkan
sebagai seorang polos yang mudah dibodohi, sehingga ketika sampai di kota
tujuan ia akan tertimpa kesialan seperti ditipu. Penggambaran masyarakat
perdesaan dengan segala hiruk pikuknya bukan merupakan hal baru. Pada tahun
2018 lalu medsos gw rame dengan meme muka Bu Tejo, salah satu pemeran di film
pendek “Tilik” yang banyak menyita perhatian publik. Film itu mengangkat sisi
lain yang jarang dilihat dari masyarakat perdesaan tentang ibu-ibu yang suka ghibah,
bagaimana informasi menyebar di desa, dan perilaku masyarakat yang sebenarnya
gak beda-beda amat dengan mereka yang ada di kota.
Meskipun tidak bisa diartikan juga bahwa melihat “apa
adanya” berarti mengekspos keburukan-keburukan yang dimiliki oleh suatu pihak,
kerangka pikir seperti itu membantu gw melihat suatu hal atau permasalahan
dengan murni sehingga bisa disusun solusi atau diskusi yang menarik soal topik
tersebut, atau dalam hal ini, masyarakat desa. Gw juga punya pengalaman saat melakukan
survei untuk pengabdian di Lebak, dan bercengkerama dengan masyarakat sekitar.
Mereka juga memiliki watak agak keras terhadap pendatang, alasannya sebab
berbagai berita soal Covid yang mereka terima menimbulkan pandangan negatif
terhadap pendatang. Malah, gw sempat dikira petugas vaksinasi saat pertama
datang ke salah satu kantor kelurahan yang sedang bagi-bagi BLT. Sontak
masyarakat langsung takut, gemetar (beneran) bahkan ada yang ngumpet ngelihat
gw dan teman-teman datang. Cuma, ketika gw ngejelasin maksud kedatangan gw,
barulah suasana cair, dan terlihat keramahan yang orang-orang sering bilang
tentang masyarakat desa.
Tokoh-tokoh di novel Aib dan Nasib tidak mempan
terkena stigma tersebut. Malah tokoh di novel cenderung problematik, memiliki
berbagai persoalan mulai dari soal asmara, ekonomi, sampai politik skala desa.
Di novel tidak akan ditemui sifat-sifat yang selama ini digambarkan melekat
pada orang desa: ramah, sabar, santun, tetapi novel ini menempatkan kedudukan
orang desa sama dengan semua orang dimana pun dia berada, lengkap dengan
sifat-sifat paradoks yang melingkupi segala perbuatannya.
Alur bercerita buku ini menurut gw unik, sebab penulis
menceritakan isi bukunya dengan memotong dan membagi cerita ke dalam beberapa sudut
pandang tokoh, dan potongan cerita sedikit demi sedikit diberikan kepada
pembaca. Ada beberapa kelompok yang diceritakan dalam buku ini: komplotan Boled
Boleng, Bagong Badrudin, dan remaja di desa Tegalurung, cerita Marlina dan
keluarganya, Mang Sota beserta anaknya Uripah, serta cerita Gulabia dan tragedi
cintanya. Urutan penceritaannya cenderung tetap, Boled Boleng > Marlina >
Mang Sota > Gulabia. Tiap-tiap kisah sebetulnya bisa berdiri dan membawa
persoalannya masing-masing, tetapi dari tiap-tiap tokoh dalam buku juga bisa
ditarik garis yang menghubungkan masing-masing tokoh satu sama lain,
sebagaimana seseorang yang hidup di suatu kampung. Mereka mungkin tidak secara
langsung berinteraksi antarsesama, tetapi dalam satu peristiwa pasti ada
kejadian yang bersinggungan dengan tiap tokohnya dan masing-masing perilaku
seseorang mempengaruhi kesadaran masyarakat akan tokoh tersebut.
Gw kurang suka bagian pertama di buku ini sebab pada
bagian awal banyak sekali nama-nama tokoh yang disodorkan, dan menurut gw
nama-nama itu kurang familiar. Misal: ada Bagong Badrudin, dan Bapaknya yang
namanya Badrudin, dan ternyata ada juga Baridin. Gw juga suka ketuker mana
Rusminah dan mana Rusnitin. Selain itu, alur cerita juga maju mundur dan gw ga
bisa memprediksi potongan selanjutnya apakah cerita akan dibuat maju atau
mundur sehingga menurut gw 50 halaman pertama novel ini cukup membuat bingung.
Tetapi novel ini baru menemukan pijakannya setelah gw masuk ke bagian dua
bukunya. Setelah kita diberikan latar belakang masing-masing tokoh di bagian
pertama, gw sedikit-sedikit baru merasa terajak untuk melihat berbagai
persoalan yang dihadapi masing-masing tokoh. Cerita bergerak dengan dinamis,
dan pergantian cerita tiba-tiba yang awalnya mengganggu, sekarang mulai terasa
asyik. “Oh ini cerita Gulabia, wih terus Mang Sota, wah begitu lanjutannya si
Marlina”. Lanjutan cerita tiap tokoh menjadi “kue” masing-masing, yang memiliki
rasa berbeda dan patut dinantikan.
Di dalam cerita, penulis juga sering menggunakan
istilah-istilah yang biasa diucapkan oleh orang-orang Pantura dalam percakapan
sehari-hari. Tokoh-tokohnya yang sering menambahkan kata “kirik” ketika kesal
membuat gw terkekeh pas baca ceritanya. Cuma, sayang sekali untuk
ungkapan-ungkapan tersebut tidak dibarengi dengan catatan kaki sebagai
penjelas. Bagi gw yang memang orang Indramayu, mungkin bisa menangkap suasana
yang timbul akibat penggunaan istilah tadi. Cuma, buat orang umum yang belum
tahu, penggunaan istilah tersebut malah rawan dan bisa menimbulkan kebingungan
sejenak pada saat membaca, sehingga pengalaman membaca jadi kurang smooth.
Hal yang gw suka dari novel ini adalah bagaimana
penulis “menanam” bit-bit cerita yang nantinya akan dimunculkan lagi secara
cerdas pada bagian lanjutan bukunya. Malah justru, ending dari buku ini secara
langsung sudah dibeberkan di bagian pertama bukunya. Penulis sudah memberitahu
bagaimana akhir dari masing-masing tokoh yang diceritakan, bagaimana akhir
nasib Marlina, Bagong, Gulabia, dan Mang Sota. Tapi di bagian awal kita juga
dibuat bertanya siapa itu Duloh, anak yang tiba-tiba mati di rumah Mang Sota?
Siapa juga Kartono, lelaki yang begitu bernafsu terhadap Gulabia? Dan
sebagainya.
Awalnya gw suka dengan karakter Marlina (yang ternyata
laki-laki), anak tertua dari tiga bersaudara yang ribut mulu dengan bapaknya
gara-gara tidak boleh kawin dengan pacarnya, Eni karena mereka kurang biaya.
Marlina putus sekolah dan bekerja untuk menghidupi bapak dan adik-adiknya. Awalnya
gw kira dia tipikal karakter “abang” yang cool, jadi panutan, dan keras
terhadap adik tetapi baik di belakangnya. Namun ternyata dengan cermat penulis
sudah “menanam” bibit-bibit konflik selama perjalanan tokoh Marlina, sehingga
tokoh Marlina bisa “meledak-ledak” di bagian akhir cerita.
Gw juga suka dengan cara penulis memberi peran pada
tokoh Kaji Basuki. Sejak bagian awal, meskipun tiap-tiap kelompok cerita belum
berhubungan langsung satu sama lain, tapi mereka pasti sekali atau dua kali
menyinggung soal Kaji Basuki. Kaji Basuki sudah menjadi Bosnya Marlina,
kebunnya menjadi tempat main Boled Boleng, saudara jauh Gulabia, dan juga ada
kepentingan dengan Mang Sota. Namun sampai bagian tiga tokoh Kaji Basuki belum
muncul langsung di dalam cerita. Namun, hampir semua kejadian yang terjadi di
bagian empat sampai akhir buku, tidak bisa lepas dari tokoh sentral ini. Kaji
Basuki yang awalnya digambarkan sebagai orang kaya yang religius, baik hati,
dan pemurah ini ternyata tidak bisa lepas dari paradoks yang melingkupi setiap
orang.
Kalau bisa gw bilang, membaca buku “Aib dan Nasib”
merupakan pengalaman baru yang aneh, tapi berkesan. Fragmen cerita yang
diberikan secara acak, secara ajaib berhasil dan gw bisa saja mengkait-kaitkan
tiap bagian cerita dan mengimajinasikan alur bagi gw sendiri. Tokoh-tokohnya
juga, walaupun sering berbuat komikal namun entah kenapa masih terasa dekat dan
realistis, seperti tetangga yang adai di masyarakat. Aib dan nasib berhasil
menyajikan miniatur kehidupan masyarakat desa, yang mungkin selama ini masih
salah dipahami oleh orang-orang dan media. Tidak heran kalau novel ini berhasil
menjadi juara 1 di sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2019.
Komentar
Posting Komentar