Bahaya
Perkawanan/Perkawinan
kehidupan akan melahap habis
kita
atau kita melahap kehidupan
tanpa sisa.
tidak ada yang sanggup
menyelamatkan
kita. tidak ada yang sanggup—
kesendirian
menghancurkan kita berulang kali
dengan keinginan-keinginannya.
kita mesti berani mencintai.
kita mesti
berani memberi kesempatan
kepada hati
saling lumat dalam bahaya.
pikiran senang mengembara
sendiri,
tetapi hati tidak.
(Dikutip dari Aan Mansyur, “Mengapa Luka Tidak Memaafkan
Pisau”.)
Telat sekali kalau gua baru membahas kumpulan puisi “Mengapa
Luka Tidak Memaafkan Pisau” karya Aan Mansyur. Tahun kemarin, gua inget kalau
buku ini ngetop banget di toko buku dan selalu muncul di rak “Reccomended Books”
kalau pergi ke Gramedia. Di tahun yang sama, buku ini juga berhasil menyabet
peristiwa Kusala Sastra Khatulistiwa. Sudah banyak deh yang bahas buku ini, dan
potongan-potongan puisinya juga sudah berseliweran di media sosial.
Cuma, bicara soal Aan, puisi-puisinya punya ruang
khusus di hati gua sebagai pembaca. Pertemuan kita pertama lewat “Tidak Ada New
York Hari Ini” membuat gua betah baca tulisannya, karena relate banget
apalagi kalau sudah soal cinta-cintaan. Diksinya sederhana, dan situasi yang
digambarkan dalam puisinya cenderung adegan yang bisa ditemukan sehari-hari, cuma
entah kenapa impaknya gede banget apalagi ketika Aan menggambarkan tentang kesepian
dan kesendirian. Gua udah baca dua kumpulan puisi lainnya, “Melihat Api Bekerja”
dan “Cinta Yang Marah”, masing-masing punya karakteristik dan temanya sendiri,
namun persamaannya gua tetep suka, hehe.
Maka, dalam tulisan kali ini, gua akan coba
menginterpretasikan satu puisi, atau bahkan hanya satu bait dari kumpulan puisi
Aan di “Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau” karena puisi ini gua jadikan
sebagai puisi penutup buat segala yang terjadi di tahun 2022 lalu.
Persisnya, bait yang ini
kita mesti berani mencintai. kita mesti
berani memberi kesempatan kepada hati
saling lumat dalam bahaya.
Jika dilihat sekilas, ada beberapa frasa yang mencolok
dari bait puisi ini, yaitu “berani mencintai”, “memberi kesempatan” dan “hati saling
lumat dalam bahaya”
Kesan pertama yang timbul ketika membaca bait di atas,
tentu jelas adalah konsep percintaan, laki-laki dan perempuan yang awalnya
tidak berani menyatakan perasaan satu sama lain lalu “membiarkan hati lumat
dalam bahaya”. Namun, setelah dibaca beberapa kali, gw mendapatkan pandangan
yang lebih luas dari bait di atas.
Pertama, jika bicara soal “bahaya”, tentu orang-orang
cenderung menghindari, atau bahkan tidak menyukai bahaya dengan alasan “takut”.
Makanya Aan menulis bahwa untuk menghadapi bahaya, seseorang harus terlebih
dahulu memiliki keberanian. Bahaya, tentunya, selalu diikuti oleh risiko. Pada
contoh paling sederhana, olahraga ekstrem misalnya, sesuatu yang sering
dianggap membahayakan oleh orang-orang bahkan beberapa jenis olahraga ada yang
disertai oleh peringatan khusus, sehingga tidak semua orang dapat membiarkan
diri untuk menjajal olahraga itu.
Jika ditanya, kenapa orang-orang berani mengambil
risiko untuk menghadapi bahaya? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh
orang-orang yang telah berhadapan dengan situasi yang dianggap “berbahaya”
tadi. Ada yang bilang mereka yang telah kembali selamat dari bahaya akan
menemukan kenikmatan tiada tara, atau dalam hal olahraga ekstrem, misalnya
kesempatan melihat pemandangan dari tempat dan keadaan tidak biasa. Hal ini tentu
hanya akan dirasakan oleh orang-orang yang memiliki keberanian.
Namun, interpretasi ini kemudian diikuti oleh
pertanyaan lainnya. Apakah orang yang berani mengambil risiko untuk menghadapi
bahaya, kemudian dengan pasti akan mendapatkan hasil dari apa yang dihadapinya?
Dalam bait puisi Aan, tidak jelas disebutkan apa yang
akan didapatkan seseorang ketika dia menjatuhkan dirinya dalam “bahaya
percintaan”. Atau, memang begitu kenyataannya. Risiko, bahaya, dan keberanian
adalah suatu hal yang pasti dan barangkali dapat dirasa dan diukur oleh indra
perasa manusia, namun tidak ada yang mengetahui apa yang menantinya di ujung bahaya
tersebut. Untuk mengetahuinya, seseorang harus berani melangkah, atau dalam hal
ini, disebut sebagai “lumat dalam bahaya.”
Kalau dilihat dari sisi penulisnya, dalam beberapa kesempatan wawancara Aan memang mengaku bahwa dirinya seringkali berpikiran skeptis, membenci manusia, dan senang mempertanyakan hal-hal sekitar yang barangkali sudah dianggap “tetap” oleh orang-orang. Dengan kepribadian seperti itu, sepertinya cinta memainkan peranan penting, membuat seseorang yang tidak percaya kepada manusia untuk berani mengambil risiko mempercayai seseorang, kekasihnya, lalu keduanya lumat dalam bahaya.
Seperti yang sudah orang-orang tahu, bahwa mencintai tentu datang dengan konsekuensi dan bahayanya sendiri. Perbedaan sudut pandang, beda pendapat, rindu yang menggebu, semuanya akan lumat ketika dua orang memutuskan untuk saling mencintai. Apakah mereka akan bahagia? Belum tentu. Sebab semua datang dengan risiko dan kebahagiaan bukanlah suatu produk yang datang dengan pasti. Cuma, jawaban dari pertanyaan itu hanya mampu dicapai oleh orang-orang yang memiliki keberanian.
Barangkali, jika punya keberanian, besok-besok aku pun
akan mencoba lagi untuk membiarkan hati lumat dalam bahaya. Semoga
Komentar
Posting Komentar