Lebih dari Membaca

 



Judul               : Rumah Kertas

Penulis             : Carlos María Domínguez

Penerbit           : Marjin Kiri

Kota terbit       : Tangerang Selatan

Tahun terbit    : 2016

Tebal halaman : 76 halaman

Lama baca       : 2 hari

 

Pada dasarnya membaca adalah kegiatan yang membosankan. Lu cuma berhadapan dengan kertas yang ditulis, lalu duduk diam dan menghabiskan waktu melahap baris demi baris kata-kata. Belum lagi kalau posisi bacanya ga nyaman, mau duduk tapi pinggang nanti sakit, kalau tiduran mata jadi gampang pegal dan malah bikin ngantuk. Sejatinya membaca adalah pengalaman yang membosankan, sebab setelah membaca, hubungan gw dengan buku yang habis dibaca biasanya “selesai” begitu saja. Buku itu lalu cuma jadi pajangan yang mengendap di rak buku, entah kapan bakal dibuka dan dibaca lagi.

 

Cuma, salah satu cara gw mensiasati dalam menghadapi “rutinitas” itu ya, dengan menulis resensi di blog ini. Harapannya sih dengan gw nulis blog, bakal banyak pembaca yang kemudian jadi suka baca. Gw juga mencoba buat ngasih opini gw terhadap buku itu, kaitannya dengan pengalaman yang pernah gw rasain, dengan harapan bahwa mungkin gw bisa dapat diskusi buku dengan teman-teman pembaca. Sebab, agak sayang bagi gw, jika setelah membaca terus bahan yang gw dapat hanya mengendap di kepala sendiri. Meskipun memang membaca adalah salah satu cara paling gampang buat membuang waktu, tetapi dengan diskusi, kegiatan membaca pasti lebih asyik.

 

Sejak awal tahun ini gw membatasi diri untuk gak beli buku baru dulu. Buku terakhir yang gw beli itu Wesel Pos, yang bulan lalu sudah gw resensi, itu pun harganya ga sampe 10 ribu. Tetapi gw masih bisa dapet bacaan “baru”, sebab gw pakai iPusnas dan aktif “barter” buku dengan teman. Dengan barter buku, sedikit-sedikit setelah masing-masing sudah selesai baca, seenggaknya kita bisa ngobrol soal opini dari buku yang gw dan teman gw baca. Dan, beruntung banget gw bisa dapat buku yang mungkin, membuka perspektif gw tentang kegiatan “membaca” itu sendiri.

 

Buku yang gw maksud adalah Rumah Kertas, karya seorang penulis asal Argentina. Buku ini gw barter dengan buku tentang pandemi karya Ravando. Dilihat dari blurb belakang buku ini, awalnya gw pikir buku ini bakal bergenre misteri. Sebab dari premisnya ada seseorang yang meninggal ketika sedang membaca buku, lalu si tokoh utama dapat kiriman buku misterius dengan sisa-sisa semen yang dialamatkan kepada orang yang barusan meninggal tadi. Ternyata, buku tersebut membawa tokoh utama, dan pembaca, berpetualan ke dunia penulisan yang belum pernah gw bayangkan sebelumnya.

 

Semua orang di buku ini, adalah maniak buku (hehe). Dua tokoh yang disebut tadi, pekerjaan mereka adalah dosen sastra Amerika Latin di Universitas Cambridge, yang pasti gemar membaca. Mereka punya tempat sendiri untuk membaca di ruang kerjanya. Saat menelusuri paket buku misterius, tokoh utama berkenalan dengan orang-orang yang bahkan lebih maniak buku lagi. Ada Jorge Dinarli, pemilik toko buku lawas yang ternyata punya koneksi dengan si pengirim buku misterius, Brauer. Dari Dinarli kemudian gw dikenalkan lagi dengan tokoh Delgado, yang ternyata juga sama maniaknya dengan buku. Dari sini cerita mulai menarik.

 

Ternyata Brauer dan Delgado merupakan teman lama yang sama-sama tertarik dengan buku. Di dalam novel dijelaskan bahwa mereka sama-sama suka mengoleksi buku lama, ikutan lelang buku, dan punya ciri khas membaca masing-masing. Delgado itu tipe orang yang kalau membaca buku, bukunya itu bakal disayang-sayang layaknya benda berharga. Dia anti banget buat menekuk, memberi catatan langsung di buku, apalagi membiarkan bukunya kotor. Yang keren dari Delgado malah rumahnya, yang digambarkan punya rumah lima lantai yang isinya penuh dengan rak buku. Gw sih ngebayangin kalau rumah Delgado ini mirip-mirip dengan empat lantai pertama di Perpustakaan Nasional RI, sebab di sana juga bukunya banyak banget!

 

Dari Delgado, gw baru tahu ternyata kalau proses membaca tidak hanya pertemuan mata dengan kertas yang diisi tinta. Tapi lebih dari itu, dengan membaca ternyata seseorang sedang merumuskan dunianya masing-masing. Menurut dia, sifat seseorang bisa diketahui dari buku yang dia baca. Meskipun gw agak gak setuju ya, sebab seseorang tentu bebas menentukan topik bacaannya, tanpa menjadi apa yang dia baca (misalnya seseorang baca buku tentang komunisme, belum tentu dia akan menjadi komunis). Selain membaca, menyimpan buku juga ternyata ada seninya. Bagaimana cara seseorang melindungi kertas yang ringkih dari gangguan rayap, lembab, dan menyediakan ruang yang cukup untuk menyimpan buku. Delgado ini mirip dengan gw waktu masih baru suka baca. Buku-buku yang habis gw baca sebisa mungkin keadaannya sama dengan saat gw beli, sebab dulu gw pikir buku itu bisa jadi semacam barang antik, yang saat gw tua nanti harganya semakin mahal, hahaha.

 

Nah, dari Delgado kemudian gw berkenalan dengan Brauer, yang kebiasaan bacanya 180 derajat berbeda dengan Delgado. Kalau tadi Delgado orangnya rapi, Brauer ini malah lebih “urakan” kalau lagi baca. Dia sering menyisipkan catatan, referensi, atau opini langsung di bagian kosong buku yang dia baca (namanya marginalia). Dia juga tidak punya tempat khusus buat menyimpan bukunya, jadi satu rumahnya penuh dengan buku. Kalau tadi koleksi Delgado ada sekitar delapan ribu buku, Brauer malah 2 kali lipatnya, 20 ribu buku! Tapi buku-buku ini berserakan di rumahnya memenuhi lantai, koridor, tangga, loteng, bahkan di toilet rumahnya. Malah jadinya Brauer ini jadi ribet sendiri, dia jadi susah untuk menemukan buku yang pingin dia baca. Kalo sekarang sih, mungkin gaya baca gw lebih cenderung ke Brauer, he he. Tapi karena akhir-akhir ini gw sering baca buku digital atau pinjam ke teman, jadinya gak bisa dicoret-coret deh. Dan ya, koleksi gw juga berantakan, hehe. Tapi jumlah buku gw masih jauh banget lah jika dibandingin dengan Brauer.

 

Di dalam cerita juga, penulis sering menyebut referensi penulis atau era dalam buku. Bagi orang yang tahu tentang apa yang ditunjuk, pasti penyebutan kecil-kecilan itu bisa membawa pembaca ke memori tentang buku atau penulis yang disebut. Gw pun sekedar tahu saat buku menyebut soal Shakespeare, Dumas, Aristoteles, Tolstoy, dll. Kalau ada yang gw ga tahu, yaa gw asumsikan aja itu penulis terkenal, he he. Tapi, ada satu referensi yang menarik perhatian gw, yaitu dari Delgado yang menyebut buku “Eugene Grandet” yang digambarkan punya alur tipografi yang indah. Kata-kata di buku itu disusun sedemikian rupa, sehingga saat buku itu diuka di sembarang halaman, maka garis putih yang ditinggalkan dari spasi antarkatanya bakal membentuk jalur putih yang menarik. Hal itu tidak lepas dari pemilihan kata dengan jumlah silabel yang pas, agar jarak spasi tersebut bisa membentuk jalan, cabang, ranting yang indah. Gw pun baru tahu kalau ternyata tipografi di buku bisa dibuat menjadi menarik. Salah satu bentuk kreasi tipografi di buku, sering gw temukan di buku-buku puisi kontemporer. Gw pribadi kurang suka dengan buku puisi berformat demikian, sebab dengan huruf yang dibuat misalnya, maju mundur, bentuk segitiga, seperti tangga yang naik turun, membuat gw jadi susah menaruh fokus ke isi dari puisinya. Karena bagi gw, isi masih menjadi hal pokok yang dicari ketika membaca puisi, dan gw lebih suka format puisi dengan baris dan bait yang tradisional, tapi dengan makna dan perenungan yang mendalam. Ternyata buku tidak kaku, kata dan spasinya masih bisa menjadi unsur estetika yang lain.

 

Dari Delgado ternyata gw juga bisa dapat kebiasaan membaca yang baru. Seperti kata dia, bahwa Brauer punya cara khusus untuk membaca buku-buku klasik, yaitu dengan diterangi lilin! Cara lain adalah dengan menyetel musik klasik saat sedang membaca. Dengan demikian, menurut Brauer, seseorang bisa jadi lebih meresapi latar yang digambarkan oleh buku tersebut. Gw jadi terbayang, betul juga mungkin, sebab buku-buku klasik yang ditulis pada saat listrik belum seumum sekarang, pasti ditulis dalam keadaan redup karena cuma diterangi lilin atau lampu listrik. Lidah api lilin juga bisa membuat kata-kata menjadi lebih hidup. Hal ini jadi menarik untuk dicoba.

 

Ternyata ada banyak cara lain untuk menikmati bacaan. Setelah baca buku ini, bisa dibilang gw jatuh semakin dalam ke dalam buku seperti Hinata Shoyo yang semakin dalam menyukai voli. Bagian awal buku ini bahkan sukses bikin gw berangan-angan punya perpustakaan sendiri! Tapi, ternyata ada kejutan di bagian akhir buku. Selesai membaca malah timbul satu pertanyaan bagi gw, apakah terlalu banyak membaca bisa membuat orang menjadi gila? Hahahah, kita lihat saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahaya

Mempertanyakan Yang Lewat di Depan mata