Mempertanyakan Yang Lewat di Depan mata


Judul Buku: Pahlawan & Tikus

Penulis: A. Mustofa Bisri

Jumlah halaman: 120 halaman

Penerbit: Diva Press

Tanggal-bulan-tahun diterbitkan: 1995, terbit ulang Diva Press 2019

ISBN: 978-602-391-728-0

Sebagai seorang penulis puisi ala-ala, selama ini aku masih terpaku dengan buku-bukunya Aan Mansyur sehingga suka ikut-ikutan sendu. Dalam beberapa kesempatan, pingin banget rasanya untuk keluar dari Aan dan mencicipi puisi dari penulis lain, mencontek gayanya, lalu mengembangkannya jadi puisi sendiri.

 

Sampai dalam suatu kesempatan yang kebetulan, aku melihat cuplikan ucapan K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam sesinya di Mata Najwa

 

“Wah, lihat itu dia (Sujiwo Tejo). Orangnya ngga punya apa-apa, tapi juga ngga butuh apa-apa. Kaya banget itu dia.”

 

Ucapan itu dilontarkan ketika sesinya Gus Mus membahas tentang mengapa koruptor itu tidak puas-puas korupsi padahal mereka sudah banyak yang kaya? Mendengar hal ini, aku pun tertarik dengan pribadi Gus Mus yang merupakan seorang ulama, dan juga seorang penulis puisi. Oleh sebab itu, ketemulah aku dengan salah satu bukunya, “Pahlawan dan Tikus”

 

Berbagai puisi dalam kumpulan Pahlwan dan Tikus dibagi menjadi enam bab. Ada Puisi Gelap, Remang-Remang, Agak Terang, Terang, Terang-Terangan, sampai penerang. Semula gw kira penamaan bab ini dilandaskan pada emosi yang ingin disampaikan oleh penulis, yaitu emosi “gelap” atau emosi “terang”. Atau kalau merujuk kepada Sapardi Djoko Damono, ada juga puisi yang disebut sebagai “Puisi Terang”, yaitu puisi yang lurus langsung menyampaikan maknanya tanpa perlu interpretasi yang macam-macam.

 

Namun, setelah dibaca, perasaan yang timbul ketika bersalaman dengan tiap babnya malah cenderung sama, yakni “Gelap” semua. Perasaan ini timbul sebab mayoritas puisi ini ditujukkan kepada elite penguasa yang dianggap lalai dalam mengurus negara, setidaknya pada tahun puisi tersebut dituliskan. Meskipun ada beberapa puisi selingan bertema cinta atau keluarga, isu utama yang diangkat oleh Gus Mus lebih banyak menyoal politik atau kenegaraan. Bahkan, puisi yang dikategorikan sebagai “Puisi Gelap”, sejatinya tidak gelap-gelap amat sebab kata dan diksi yang digunakan cukup mudah dipahami sekali baca.

 

Kritik dan masalah-masalah sosial yang diangkat juga disampaikan dengan bahasa yang sederhana, dengan perumpanaan yang sudah lazim dan gw yakin orang Indonesia pasti bisa mengira-ngira “siapa” dan “apa” yang ditunjuk-tunjuk Gus Mus dalam puisinya. Barangkali, keresahan yang dialami Gus Mus dalam melihat berbagai problematika di negeri ini juga sebetulnya dialami oleh pembaca sehingga timbul semacam hubungan tak kasat mata lantaran ada kesamaan keresahan antara penulis dan pembaca. Puisi Gus Mus mampu memunculkan emosi yang sekian lama mengendap di benak orang Indonesia. Lihat saja puisi pertama di buku ini yang berjudul “Pahlawan” berikut ini:

            Lahir. Hilang. Gugur. Hidup. Mengalir. Sudah

Lewat baris-baris puisi sederhana di atas, Gus Mus sukses membuat pembaca mempertanyakan mengenai makna dari hal-hal yang sering kali luput di benak orang-orang Indonesia. Sebagai orang yang juga turut aktif membaca berita dalam negeri, emosi yang gw rasakan malah cenderung “Gelap”, atau cenderung sedih dan marah. Di balik keindahannya, Indonesia, negeri ini menyimpan berbagai teka-teki yang bisa membuat kita bertanya-tanya, “kok gini amat, ya?” Kekuatan puisi ini justru terletak pada kesederhanaannya. Gus Mus mahir sekali memainkan dan menerangkan perkara-perkara negara ke dalam bahasa awam, sehingga dapat mengena setidaknya bagiku sendiri. Konflik dalam puisi ini semakin naik, apalagi ketika bab berganti ke “Puisi Terang-Terangan” yang mengangkat berbagai tragedi yang terjadi di dunia nyata seperti penggusuran wilayah, marsinah, atau pembantaian Karbala.

            ada berita pe-ti-ga berlaga

            ada berita pe-de-I berkelahi

            ada berita golkar bertengkar

            ada berita abri tahu sendiri

            ketika itu dimanakah

            sebenarnya posisi kita, bangsa Indonesia?

 

Poinnya adalah, di dalam kumpulan ini puisi-puisinya disusun dengan satu tema utama: kejujuran atas apa yang terjadi dan dirasakan oleh penulis terhadap negeri. Makanya, pada lima bab semula pembaca diajak untuk memikirkan kembali, atau menengok kenyataan yang barangkali sengaja kita alihkan muka daripadanya. Lima bab ini memiliki tema yang sama, serta pendirian yang teguh tidak berubah sehingga puisi-puisinya dapat menyampaikan emosi yang kuat kepada pembaca.

 

Akan tetapi, meskipun emosi yang disampaikan dalam berbagai puisinya sangat kuat terasa, selain kritik sosial Gus Mus juga piawai menyelipkan puisi-puisi lain bertema cinta atau keluarga di tengah hiruk pikuknya mengkritisi negara. Tengok saja kutipan puisi berjudul “Kaukah Sepi Itu?” berikut ini

            Aku tak pernah berkata kepada sepi

            jangan menggangguku

            sepi tak pernah berkata kepadaku

            aku ingin menungguimu

            tapi aku dan sepi terus saling terpaku

 

            kaukah sepi itu?

Puisi-puisi ini mampu membuat gw senyum-senyum sendiri, sekaligus menjadi tempat untuk mengisi tenaga sebelum kembali berhadapan dengan realita pahit para penguasa.

 

Namun, dengan segala kritik dan emosi yang coba disampaikan lewat buku puisi ini, yang paling menarik bagi gw adalah bagaimana penulis memutuskan untuk mengakhiri buku puisinya. Dalam bab akhir, “Puisi Penerang”, tiga buah puisi yang ditulis di bab ini semakin menegaskan latar belakang Gus Mus yang merupakan seorang pemuka agama. Meskipun dalam kenyataannya, di negeri ini tentu seorang ahli agama sering ditanya tentang perihal segala apa, namun Gus Mus memilih untuk merendahkan hati dan mengajak pembacanya berdoa, yang kembali mengingatkan kita bahwa segala-galanya, pada akhirnya, akan kembali ke tangan Yang Maha Kuasa.

            Ya Allah, Wahai Tuhanku;

            kebaikan apa pun yang Engkau anugerahkan kepadaku dan

            aku tak memujiMu tanpa kusadari atau kusadari

            aku bertobat darinya dan berserah diri

            seraya mengucap Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah

            shallallahu ‘alaihi wasallam

 

Ending yang tidak menggurui, mengingatkan kita semua untuk kembali mendasarkan sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Esa.

 

Salah satu buku penting yang mengawal jalannya demokrasi di negeri ini. Selain ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami awam, buku ini sama-sama mengajak pembacanya untuk senantiasa berpikir, mencoba memahami realita politik yang terjadi belakangan ini, serta agar kita senantiasa tunduk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Perjalanan yang menarik, menyusun lembah kegelapan di “Puisi-Puisi Gelap” milik Gus Mus sampai tercerahkan di “Puisi-Puisi Penerang”nya. Meskipun beberapa puisi umurnya telah mencapai lebih dari 20 tahun, entah kenapa kritik dan kondisi yang dilukiskan di dalamnya masih berbunyi nyaring sampai sekarang. Entah kenapa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahaya

Lebih dari Membaca