Pengalaman Membaca "Cantik itu Luka"nya Eka Kurniawan

 

·         Judul               : Cantik itu Luka

·         Penulis             : Eka Kurniawan

·         Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama

·         Kota terbit       : Jakarta

·         Tahun terbit    : 2002 (sebelumnya oleh AKYPress dan Penerbit Jendela)

·         Tebal halaman : 505 halaman

·         Lama baca       : 7 hari

My second take sama bukunya Eka Kurniawan. Setelah sebelumnya gw baca “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”, gw masih penasaran sama penulis yang satu ini. Eka Kurniawan sering banget muncul di timeline medsos gw dengan review-review bagus di tiap bukunya. Dengan bermodalkan “ajakan” di medsos tadi jadilah gw nyoba baca bukunya Mas Eka ini, dan pembacaan gw yang pertama (Seperti Dendam), hasilnya kurang begitu gw suka.

 

Menurut gw terlalu banyak orang yang menerka-nerka maksud dari novel Seperti Dendam tadi. Selain pemaknaan yang memang ga bisa disalahkan tadi, gw ngerasa beberapa terlalu memaksa. Sebab di buku itu gw rasa fokus kepada unsur seksualitasnya terlalu banyak dibanding ke maknanya sendiri, walaupun memang salah satu yang ingin disajikan oleh Eka adalah kenyataan bahwa di depan urusan kelamin, manusia bisa kehilangan akalnya dan bersedia melakukan apa pun. Gw juga baru pertama membaca buku yang secara gamblang ada unsur seksualnya, hahah jadi agak kaget aja nemuin bukunya Eka yang “kok gini”. Haha.

 

Jadilah gw baca Cantik itu Luka dengan ekspektasi yang rendah dan cuma berpegangan kepada nama penulis, “yang nulis Eka nih, pasti bagus” kira-kira seperti itu mindset gw ketika mulai baca.

 

            Dan memang bagus


Cantik itu Luka menyajikan berbagai cerita dengan spektrum yang luas (bahkan cenderung random). Sesuai judulnya, tokoh utama novel ini adalah Dewi Ayu, wanita cantik di suatu daerah bernama Halimunda (wilayah fiktif) yang sejak zaman kolonial “terpaksa” menjadi seorang pelacur.    

 

Random banget bukunya, ceritanya  berganti-ganti fokus tiap babnya sesuai tokoh yang masing-masing sama absurdnya. Kalau di awal buku bercerita tentang Dewi Ayu, yang 21 tahun meninggal dan bangkit kembali dari kubur, untuk kembali ke rumahnya dan menemukan anak keempatnya si Cantik yang “buruk rupa” sedang bercinta dengan makhluk halus (atau seperti itu)

 

Tokoh-tokoh yang diambil dalam novel ini baik secara langsung berhubungan dengan tokoh utama, yaitu Dewi Ayu (yang mereka semua rata-rata pernah menyetubuhi Dewi Ayu setidaknya sekali). Ada Shodanco sang veteran perang, yang selepas perang selesai diminta turun gunung dan berburu babi di Halimunda. Di sisi lain ada Kliwon, anak dari seorang komunis yang nantinya menjadi petinggi di partai komunis. Juga ada Maman Gendeng, seorang jawara dari daerah nun jauh di sana yang berkelana mencari tujuan hidupnya. Interaksi dari karakter-karakter di atas agak aneh (menurut saya), sebab mereka setidaknya pernah berhubungan dengan Dewi Ayu, dan masing-masing nantinya bakal menikah dengan putri dari Dewi Ayu

 

Namun, segala “kekacauan” yang dihadirkan Eka lewat novelnya, disusun dengan rapi sehingga hubungan masing-masing tokoh terlihat secara jelas. Memang pada bab-bab awal buku cerita difokuskan pada Dewi Ayu yang baru bangkit dari kematian. Waktu membacanya, gw menerka-nerka apakah nanti anak-anaknya pun bakal ikut diceritakan? Dan ternyata memang mereka bakal dapat porsi penceritaan di bab-bab selanjutnya dengan cerita masing-masing yang sangat aneh bin absurd. Yang teraneh, menurut gw, jelas hubungan Alamanda dengan Shodanco yang “wah” banget dah.


Cerita-cerita di dalam novel mengambil berbagai tema yang sangat berbeda antara satu dan yang lainnya. Ada mistisisme, perjuangan perang, sejarah republik, komunisme (yang kebanyakan dilece-lecein), dan yang pastinya, hubungan persetubuhan. Bagian yang asik menurut gw adalah, usaha penulis untuk menghadirkan realisme di tengah tulisannya yang fiktif. Beberapa bait sejarah dan cerita-cerita perjuangan yang barangkali sudah sering kita dengar dipadu dengan narasi fiktif yang seru. Lihat saja misal, tokoh Shodanco, yang tadinya seorang pejuang kemerdekaan yang bergerilya di hutan. Lepas Indonesia merdeka, dia ditawari untuk menjadi panglima tentara republik, tetapi dia malah menolak dan memilih “menghilang” di hutan. Mirip cerita Supriyadi, bukan? Ada banyak lagi bagian-bagian yang menyatakan kejadian yang memang terjadi di republik, sehingga saat mencoba memilah mana bagian yang “nyata” dan yang “fiktif” menjadi keasyikan sendiri waktu membaca bukunya.

 

Tokoh-tokohnya (kalau kau rajin) bisa dibilang punya nilai-nilai sendiri di dalam kehidupan. Gw ambil contoh Maman Gendeng, salah satu tokoh favorit gw di novel ini.


Maman Gendeng, seorang anak dari gundik seorang bupati yang kelak menjadi pendekar sakti yang mendapat ilmu penghabisan dari gurunya. Ia menyimpan dendam terhadap bapaknya sebab perlakuannya yang tidak baik terhadap ibunya. Namun, di masa perang melihat ayahnya yang mati di tangan penjajah membuat ia kehilangan nafsu dendamnya dan memutuskan untuk pergi berkelana.

 

Menurut gw Maman Gendeng melambangkan sifat kenaifan dan egoisme manusia. Dia, yang mendengar desas-desus bahwa ada putri cantik bernama Rengganis di wilayah yang jauh, tanpa pikir panjang langsung menyusuri lautan untuk pergi mengawininya. Sampai di Halimunda Maman Gendeng cuma mendapatkan rasa kecewa sebab kisah Rengganis adalah kisah dari ratusan tahun yang lalu, dan bahwa Rengganis yang cantik sudah lama meninggal.

 

Kekecewaan Maman Gendeng menurut gw bisa dipahami, sebab selain kehilangan perempuan yang ingin dikawininya, dia juga telah kehilangan tujuan hidupnya yaitu membalas dendam kepada sang ayah atas perlakuan kasarnya terhadap ibunya. Jadilah dia mengamuk di Halimunda, sampai dia bertemu Dewi Ayu dan berusaha untuk memonopolinya, dengan berkata bahwa tidak ada yang boleh menidurinya kecuali dirinya sendiri. Niat memonopoli pelacur tentu kontradiktif. Bukankah pelacur “berhak” ditiduri oleh semua orang asalkan dia berani membayar? Apa gunanya juga memonopoli pelacur jika tidak dikawini sebagai seorang istri? Siapa juga yang berhak untuk memonopoli “kepunyaan orang banyak?” Cuma, di tangan orang seram yang memiliki ilmu sakti mandraguna, yang menang melawan Edi Idiot dalam duel tujuh hari tujuh malam, tentu orang-orang bakal “manut-manut” saja melihat kepunyaannya dimonopoli oleh satu orang saja.

 

Buat sebagian pembaca yang belum pernah membaca novel dengan unsur seksualitas (seperti gw), mungkin pada halaman-halaman awal bakal dibuat ga betah dengan novel ini. Cuma, jika diikuti sampai akhir, menurut gw novel ini menyajikan sudut pandang baru dalam bercerita dengan segala keunikan dan keabsurdannya.

Komentar

  1. Keren. Ulasannya jelas, menarik. Saking jelasnya, sperti gw udh paham isi cerita dari novel tsb secara inti dan komprehensif. Dan saking menariknya, bikin yg baca ini jadi pgn baca novel yg diulas.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahaya

Mempertanyakan Yang Lewat di Depan mata

Lebih dari Membaca