Ikan-Ikan di Laut
· Judul : Fish in The Water
· Penulis : Lee Chanhyuk
· Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
· Kota terbit :
Jakarta
· Tahun terbit :
2021
· Tebal halaman : 176 halaman
· Lama baca : 4 hari
Salah satu musisi favorit gw, Lee Chanhyuk dari grup duet AKMU bukunya diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sama Penerbit Gramedia. Walaupun tadinya gue udah berjanji buat ga beli buku sebelum akhir tahun, alhamdulillah sampe sekarang masih ada kedatangan aja buku dari berbagai sumber (makasih loh buat yang ngasih, sungguh). Apalagi pas tau kalo novel ini mau terbit di Indonesia, wah bimbang nih gw mau beli apa ngga!
Fenomena “Koreaan” memang masih santer digilai muda-mudi Indonesia.
Tidak hanya lewat lagu dan drama, berbagai buku terjemahan asal Korea pun mulai
diminati oleh pembaca tanah air. Sebelumnya publik juga diramaikan oleh
buku-buku yang dibaca oleh anggota boy group asal Korea Selatan (“Almond”,
seri “Tteokbokki”, buku puisi korea, dsb.)(yang tentunya buku-buku sebelumnya
belum sempat gw baca hehe)
Gw gatau kenapa, tapi buku-buku korea yang masuk di Indonesia memang
kebanyakan topiknya serius dan filosofis ya ==a. Dulu gara-gara BTS, buku Psikologinya
Carl Jung yang judulnya “Map Of The Soul: Persona” laris banget dan terbit juga
di Indonesia meskipun topiknya agak berat. Buku “Fish in The Water” ini pun bahasannya
sama-sama serius. Kira-kira begini ceritanya:
Seon, seorang musisi sekaligus pencipta lagu meninggalkan anggota grup
musiknya untuk mencari makna dari kehidupannya. Kemampuannya menggubah lagu
dengan lirik yang puitis, serta aransemen yang disukai oleh banyak orang lantas
tidak membuatnya puas. Ia kembali bertanya-tanya akan cita-cita dan hidupnya,
apa itu menjadi seorang seniman?
Kesan filosofis dan misterius terasa kuat pada “Fish in The Water”.
Terlihat dari sampul, yang didominasi oleh warna tosca dan biru menggambarkan
kedalaman laut yang memegang peranan penting dalam cerita Fish in The Water.
Lewat tokoh utamanya, Seon dan Haeya, pembaca diajak untuk sejenak merenung dan
memikirkan kembali tentang hal-hal yang mungkin terlewat dalam hidup.
Setelah berkelana dan bertemu dengan tukang sirkus, tukang sapu jalanan,
musisi, dan orang-orang lainnya dan melihat cerita mereka masing-masing, Seon
bertemu dengan Haeya di sebuah dek kapal yang berlayar saat cuaca sedang
diterpa badai. Sosok Haeya seolah-olah hadir dan memberikan tujuan baru bagi
hidup Seon. Seon pun tertarik kepada Haeya yang tidak takut saat ombak besar
berusaha melahapnya.
“Terkadang, orang-orang lupa apa yang harus mereka takuti. Karena itulah mereka takut pada hal-hal yang remeh. Setelah melihatnya, aku baru sadar. Yang kutakuti sama sekali tidak ada artinya di hadapan ombak raksasa ini. Bahkan kematianku sendiri terasa sangat remeh.”
Setelah pertemuan itu, Seon mulai berpetualang mencari kebebasan bersama
Haeya. Hal-hal yang dirasa “tidak wajar” seperti berlari telanjang di padang
gelagah, sampai menaiki zebra di penyeberangan jalan menantang norma-norma
kenormalan yang ada di masyarakat.
Namun, masa-masa senang itu pun harus berakhir ketika Haeya ingin
kembali pada tujuan awalnya, yaitu laut. Haeya selalu merindukan laut dan ingin
menjadi satu dengannya. Seon, tidak mampu menerima bahwa dirinya akan ditinggal
oleh orang yang dicintainya. Seon pun tidak mampu berbuat apa-apa ketika dia
melihat bahwa Haeya tersenyum dan memeluk lautan.
Perumpamaan Haeya yang menyatu dengan lautan menyatakan kondisi
seseorang yang telah lengkap cerita hidupnya. Haeya, yang juga menemukan
kenyamanan dalam diri Seon menantang dirinya untuk keluar dari zona nyaman dan
kembali ke cita-cita awalnya, menyatu dengan laut.
Metafora laut menurut gw mengisyaratkan kedalaman hidup dan sisi gelap
yang tidak bisa diketahui secara utuh oleh seorang manusia sebelum dia
mengalaminya sendiri. Hanya dengan menjadi satu dengannya, manusia baru bisa
seutuhnya memahami makna dari laut tersebut. Bagi sebagian orang mungkin
menganggap bahwa keputusan Haeya untuk menyatu dengan laut adalah hal yang
bodoh dan naif.
Namun, di mata orang yang telah lengkap ceritanya, pertemuan dirinya
dengan “laut” kekasihnya bukankah merupakan sesuatu yang sudah lama diidamkan?
Dengan begitu, bukankah seharusnya kita tersenyum terhadap orang-orang yang
telah mendapatkan apa yang menjadi tujuannya, termasuk kalau yang dituju adalah
kematian?
Sama seperti hidup yang digambarkan buku ini, gw pun sempet dibuat
bingung dengan ceritanya yang dibuat “maju-mundur”. Soalnya, di bagian awal cerita
dimulai saat Seon udah berpisah dengan Haeya. Baru sedikit-sedikit kenangan Seon dan Haeya
dikupas. Mungkin tujuannya sama kali ya, siapa yang belum “mengalami” sendiri
(menamatkan) buku ini tidak bisa tahu secara utuh makna bukunya (ceilah
hahaha).
Lewat buku ini, Chanhyuk gemar menyisipkan potongan lirik lagu dari
Album Sailing miliknya. Di bagian awal misalnya, dibuka dengan potongan
lagu “Fish in The Water”. Semakin membacanya, lagu-lagu lain mulai bermunculan
seperti “Whale”, “Chantey”, “Freedom”, dan favorit gw, “How Can I Love The
Heartbreak, You’re The One That I Loved” yang muncul di bagian terakhir. Album
Sailing dari Chanhyuk menuliskan lirik-lirik yang memiliki makna ganda. Buku
ini sekaligus membantu kita untuk memahami konteks yang ingin disampaikan Chanhyuk
lewat lagu-lagunya.
Fish in The Water juga secara langsung mengangkat masalah sosial yang
kerap diterima oleh para musisi Korea Selatan. Ada dikotomi yang secara halus
membedakan antara seorang musisi (idol) dengan seorang seniman (artist).
Kata idol merujuk kepada musisi yang berada di bawah agensi dan
membawakan lagu yang didapat dari agensinya, sehingga kerap dianggap tidak
kreatif karena tidak menciptakan lagunya sendiri.
Tuntutan untuk menjadi penyanyi di Korea Selatan cukup banyak. Tidak cuma
pintar menyanyi, punya wajah yang cantik/ganteng, kini mereka pun dituntut harus
memproduksi lagu mereka sendiri. Tuntutan ini pun melahirkan dikotomi tadi.
Kata artist sering merujuk pada penyanyi-penyanyi yang memproduksi
sendiri lagu-lagu mereka, biasanya artis-artis soloist dan penyanyi dari
label-label kecil (CMIIW). Tuntutan yang banyak ini, digambarkan Seon yang ingin
lepas dari karir penyanyinya untuk menjadi “Seniman” sesungguhnya. Tentu makna
seniman yang diincar oleh Seon jauh berbeda dengan artist yang ada.
Masalah lain yang diangkat adalah sistem masyarakat (tidak cuma Korea,
mungkin) yang terlalu terpaku pada hasil ujian dan kertas-kertas ijazah. Seon
bertemu dengan Bobae, seorang tukang sapu jalanan yang memiliki cita-cita untuk
“membahagiakan dunia”. Agak miris ketika Bobae, yang berarti “harta” dalam
bahasa Korea memiliki pekerjaan untuk membersihkan sampah dalam novel ini.
Sampah-sampah itu, tidak ada habisnya di jalanan. Yang bisa dilakukan oleh
manusia adalah membersihkan sampah-sampah dan rasa egois yang terkandung di
dalam badan agar bisa menciptakan satu “jalanan” yang bersih.
Pada akhirnya, Seon pun sadar akan maksud dari perbuatan Haeya dan siap
untuk menjalani babak baru dalam kehidupannya. Bersama anggota grup musiknya di kafe yang didirkannya di pinggir laut ia
menggubah lagu perpisahan terakhir untuk mengenang Haeya.
Bagaimana mungkin aku mecintai perpisahan
Padahal kaulah yang kucintai.
Ikan ga cuma ada di laut. Di langit juga ada ikan.
BalasHapus