Pengalaman Baca Wesel Pos-nya Ratih Kumala

 



Judul               : Wesel Pos

Penulis             : Ratih Kumala

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama

Kota terbit       : Jakarta

Tahun terbit    : 2018

Tebal halaman : 98 Halaman

Lama baca       : 2 hari

 

Awal tahun 2021 gw memutuskan buat berhenti beli buku baru dulu. Selain karena alesan duit, gw ngide-ngide aja pengen coba baca buku gratis, tetapi legal, lewat berbagai cara seperti minjam di perpus, barter buku sama teman, atau lewat aplikasi iPusnas. Jadilah gw sering ke Perpustakaan Nasional, meski kenyataannya di sana malah ngerjain tugas kuliah dan bukan baca buku bebas. Soal iPusnas, di awal libur semester gw asik banget baca buku di sana, cuma apa daya, kuliah sudah jalan lagi jadi bahan bacaan harus dialihkan dari novel dan fiksi jadi modul dan presentasi.

 

Selain gw yang ngide, kalau gw perhatikan toko buku di Indonesia (terutama yang online) sering juga ngasih diskon di tanggal-tanggal tertentu, misal di tanggal yang sama dengan bulannya (11-11 atau 12-12 misalnya), Hari Buku Nasional, atau tentatif bulanan seperti gramedia.com yang sering ngadain flash sale. Maka, di bulan keempat gw “puasa” beli buku, gw memutuskan buat “buka puasa” sejenak.

 

Novelet (novel pendek) berjudul Wesel Pos ini gw beli saat ada flash sale dari gramedia.com yang, ngasih diskon gila-gilaan. Novel ini gw beli dengan harga lima ribu saja, sangat murah jika dibandingkan dengan harga aslinya. Alasan gw membeli novel ini lebih karena gw suka dengan penulisnya, Ratih Kumala, setelah sebelumnya baca Gadis Kretek. Jadilah gw mau coba mendalami lebih jauh karya-karya Ratih Kumala yang lainnya. Karena momennya pas, jadi deh gw beli he-he.

 

Buku ini memiliki cerita yang, dari segi premis gw lihat sudah sering dipakai di sinetron-sinetron TV. Wesel Pos bercerita tentang perempuan bernama Elisa, yang setelah Ibunya meninggal, memutuskan buat menyusul kakaknya ke Jakarta. Cuma, petunjuk Elisa soal kakaknya hanya didapat dari selembar Wesel Pos kumal yang dipakai Iqbal, kakaknya, untuk mengirim uang tiap minggu. Berbekal nekat dia pun pergi ke Jakarta

 

Tokoh Elisa gw rasa khas sekali dengan stereotip “gadis desa” yang digambarkan lugu, gagap teknologi, dan mudah percaya dengan orang lain. Elisa cukup berani, kalau tidak naif, buat pergi ke Jakarta tanpa perisapan lebih. Dia gak tau nomor teleponnya Iqbal, dan cuma bawa uang seadanya ke Jakarta. Beberapa bagian di novelet ini menurut gw gampang ditebak. Misalnya, ketika di bagian awal Elisa sampai di terminal dan ngobrol dengan salah satu pedagang di sana, gw udah nebak “masa iya bawaannya Elisa bakal hilang,” dan ternyata bener aja.

 

Begitu pula ketika Elisa berkenalan dengan Fahri, seorang sopir yang kerjanya satu kantor dengan Iqbal. Sejak mereka berkenalan, gw juga udah nebak pasti ada hubungan apa-apa antara Fahri dan Iqbal, dan ternyata bener ada! Untungnya, Iqbal bukan bagian dari bisnis gelap yang dijalankan oleh Fahri. Kalau misalnya begitu, bisa-bisa genre novel ini berubah jadi aksi, ya haha.


Seluruh alur tadi, diceritakan justru lewat sudut pandang si Wesel Pos. Interaksi antara si Wesel dengan tokoh-tokoh lain juga menarik, dia aktif memberikan pandangannya tentang tokoh-tokoh yang ditemui Elisa. Contohnya waktu si Wesel ikutan kesel saat dibilang metode mengirim uang dengan wesel pos itu ketinggalan zaman. Beberapa kali gw malah merasa kalau si Wesel ini mewakili pikiran terpendam pembaca, yang gw pribadi rada kesal juga ngeliat sikap Elisa yang begitu lugu.

 

Alur yang dibawakan oleh novelet ini juga tidak neko-neko dan sederhana saja. Walaupun barusan gw bilang di novel ini alurnya “mudah ditebak”, hal ini malah menjadi suatu kekuatan dari novel ini. Pembaca tentu sudah akrab dengan stigma-stigma tentang kondisi Ibukota yang individualis, kejam terhadap pendatang, dan kejahatan serta kecurangan di dalamnya, cuma “Bener gak sih hal-hal begitu tuh ada? Kalau ada, buktinya kayak gimana?” Berangkat dari kesamaan ini, Ratih mencoba untuk mengangkat stigma yang mengendap di benak pembaca naik ke permukaan. Tentu saja, Jakarta dengan kemewahannya menjadi magnet yang menarik para pendatang. Romantisme soal cerita-cerita Ibukota, kesempatan memperbaiki hidup, sampai keindahan kota terpadat Indonesia ini seringkali membuat orang lupa dengan sisi lain dari ibukota.

 

Jakarta juga menjungkirbalikkan persepsi pendatang tentang nilai dan norma yang diyakininya di daerah asalnya. Di Jakarta, menjadi orang “baik” saja tidak cukup. Akan terus ada tetangga yang melihat gerak-gerik dan menilai perilaku kita. Akan banyak orang, dengan perilaku “ajaib” dan rupa yang bermacam-macam, ditemukan di kota yang padat ini. Wesel Pos menjadi saksi bagaimana Jakarta adalah kota yang hidup dan tidak pernah sepi. Dia aktif menarik, mengatraksi, juga diam-diam menyisihkan orang-orang di dalamnya. Kalau kata noveletnya, “Cuma orang-orang sakti yang bisa ‘bertahan hidup’ di Jakarta,” yang sedikit banyak, ada benarnya.

 

Kalau kalian mencari bacaan ringan buat ngerasain sensasi “ga bisa berhenti baca”, Wesel Pos bisa menjadi salah satu pilihannya. Kalian duduk, seduh minuman, tau-tau udah habis bukunya. Haha

 

nb: Fon di judulnya mirip Gravity Falls gak sih? Wkwkwk

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahaya

Mempertanyakan Yang Lewat di Depan mata

Lebih dari Membaca