Kubah dan Kaderisasi

 



Judul               : Kubah

Penulis             : Ahmad Tohari

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama

Kota terbit       : Jakarta

Tahun terbit    : 1980

Tebal halaman : 211 halaman

Lama baca       : 2 hari


Tahun ini menjadi titik balik dalam karir literasi gue. Gue yang biasa cuma berperan sebagai pembaca, tahun ini berambisi untuk banyak-banyak menulis. Sebenarnya dari SMA gw udah aktif nulis, nulis puisi. Cuma rasa-rasanya pas kuliah gw pingin coba nulis tulisan yang lebih “panjang”. Makanya gw jadi sering nulis artikel, berita, puisi lagi, bahkan cerpen.

 

Salah satu hal yang bikin gw kepincut buat nulis adalah, tulisan di Page Tere Liye yang intinya dia bilang, “Jangan berani-berani ngeresensi buku kalau sendirinya belum pernah nulis.” Gw kaget dong, karena gw pikir iya juga ya, gw yang punya blog resensi buku, sendirinya belum pernah nulis cerita panjang haha. Agak malu juga dan kepikiran sebenernya boleh ga sih gw ngeresensi buku sementara gw sendiri belum pernah ngerasain jadi penulis, haha. Selain itu, gw juga inget kalimat Pramoedya yang bilang kalau “Jika seseorang tidak menulis, dia akan dilupakan orang dan dilupakan sejarah.” Gw juga pingin gitu, ada hal yang bisa orang inget dari gw, hehe. Dan semoga itu tulisan-tulisan gw.

 

Salah satu penulis yang bikin gw suka sama cerpen adalah Ahmad Tohari. Waktu itu gw nemu buku beliau, “Mata yang Enak Dipandang”, secara kebetulan di toko buku dan langsung gw beli. Gw suka dengan cara penulisannya. Kalau ditilik, memang cerpen Ahmad Tohari suka untuk mengangkat kisah orang yang “Biasa-biasa aja”. Di Mata yang Enak Dipandang pun tokoh-tokoh yang diangkat misalnya orang desa, pengamen bus, orang tua yang ditinggal rantau anaknya, dll. Tapi dari kesederhanaan itu, cerpen-cerpennya malah terasa dekat, bahkan bagi gw menusuk. Karena dari perspektif yang sederhana atau bahkan “dilewatkan” oleh orang-orang, tersimpan rasa, realitas, dan kritik yang sebenarnya mengarah pada orang-orang kebanyakan.

 

Mulai dari situ gw suka dengan tulisannya Ahmad Tohari. Gw juga suka novelnya yang berjudul “Orang-Orang Proyek”, yang mengangkat soal korupsi. Selama membaca novel itu gw ketawa-ketawa aja, karena gw merasa relate dengan isinya, dan dipaksa untuk menyadari bahwa korupsi yang selama ini muncul di tivi-tivi ternyata sudah mengakar di berbagai kehidupan rakyat, baik itu kecil maupun besar. Cuma untuk seukuran penulis yang gw suka, gw terhitung jarang buat beli bukunya beliau, hehe. Gw baru beli Mata yang Enak Dipandang, sementara Orang-Orang Proyek gw baca gratis lewat perpusnas. Maklum, setelah jadi mahasiswa ntah kenapa anggaran bulanan buat beli buku jadi berkurang, eh? Hehe.

 

Eits, intronya panjang juga ya, haha. Sebenarnya kali ini gw mau bahas buku Ahmad Tohari lagi, yang berjudul Kubah. Buku ini gw baca gratis di iPusnas setelah sebelumnya gw nemu versi lawas dari buku ini di toko buku antik. Di sela-sela kesibukan kuliah yang mulai monoton, gw mencoba menyempatkan diri buat membaca bacaan “bebas” lagi setelah sekian lama berkutat di jurnal dan penelitian ilmiah.

Dan ternyata hasilnya gw malah merasa lebih lapang di tengah kesibukan-kesibukan gw.

 

Kubah bercerita soal ekspartisan PKI di tahun 65 yang ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru. Karman, yang selama 12 tahun diasingkan di Pulau Buru dibebaskan dan memutuskan pulang ke kampungnya, Pegaten. Selama 12 tahun itu Karman menyendiri, sakit-sakitan di Pulau Buru, dan kehilangan banyak hal: Istrinya kawin dengan orang lain, teman-temannya habis diburu oleh aparat, serta satu dari tiga anaknya meninggal. Karman yang sedang dalam kondisi “kosong”, pulang ke kampung halamannya sambil khawatir kalau dia akan ditolak di kampungnya.

 

Sebenarnya 2 bab pertama novel ini kurang menarik bagi gw. Bagian awal bercerita tentang sekembalinya Karman dari Pulau Buru. Cerita baru mulai seru di bab-bab selanjutnya, setelah Ahmad Tohari memakai alur mundur untuk menjelaskan perjalanan Karman hingga menjadi simpatisan partai komunis. Memang novel ini lebih memusatkan cerita pada perjalanan hidup Karman, bagaimana dia yang semula adalah pemuda yang pintar, rajin, suka beribadah, dan disegani masyarakat desa, bisa terjerumus sampai diasingkan ke Pulau Buru. Bagian kehidupan Karman selama di Pulau Buru tidak diceritakan secara detail, namun bagi gw itu tidak perlu, sebab gw bisa amat merasakan dan ikut menjalani transisi kehidupan karman dari baik, tersesat, sampai bertaubat kembali.

 

Gw menggunakan kata “tersesat” bukannya tanpa alasan. Partai komunis dan kader-kadernya memang digambarkan sebagai villain di novel ini. Penggambaran mereka sejatinya memakai bumbu-bumbu yang mungkin sudah sering terdengar di masyarakat, seperti mereka yang tidak beragama, menggunakan kekerasan, dan berkehidupan bebas dan mabuk-mabukan. Gw sebenarnya ga ada masalah sama paham komunis, gw pun tahu bahwa Tan Malaka pernah mengusulkan integrasi komunisme dengan Islam. Bahkan, negara kita pun memiliki Undang-Undang yang “nilai”nya diambil dari paham sosialisme (seperti beberapa urusan yang ditanggung negara, sesuatu yang ga ditemukan di sistem pemerintahan liberal). Penggambaran tokoh komunisme seperti itu, bagi gw sejatinya rawan untuk “dipatahkan” oleh pikiran pembaca.

 

Cuma, hebatnya dalam novel ini penggambaran tadi terasa organik, dan gw pun bisa jadi paham kenapa selama ini orang-orang komunis dicap seperti itu. Di novel misalnya, Margo, simpatisan partai menjadi benci dengan tokoh-tokoh agama karena merasa mereka tidak diperlakukan dengan adil, dan hanya tokoh-tokoh agama yang menjadi orang kaya di kampungnya. Alhasil Margo menghasut Karman untuk ikut membenci Pak Haji, yang telah membesarkan dan menyekolahkan Karman. Karman yang waktu itu sedang dalam kondisi tidak stabil, jadi terhasut dengan ajaran Margo dan menjauhi ajaran agama.

 

Selain itu, pada bagian kekerasan dituliskan juga bahwa alasan Margo menggunakan cara kekerasan semata-mata karena ia ingin “mendobrak tradisi lama”. Misalnya, pada saat Pegaten dilanda krisis pangan, Margo menyuruh warga Pegaten untuk memakan tikus, cuma karena ia tahu warga Pegaten mengharamkan tikus, jadinya dia ingin mengubah norma-norma yang sudah “saklek” di masyarakat.

 

Untuk itu, gw agak gak setuju, sih. Gw rasa perubahan itu memang perlu, apabila memang hal yang ingin diubah itu adalah hal yang salah yang udah dipikirkan secara matang, dan memang merugikan masyarakat banyak. Perubahan dilakukan bukan semata-mata karena “ada yang harus berubah”, apalagi untuk “gaya-gayaan” seperti yang menurut gw dilakukan Margo. Perubahan itu ada, ketika memang dia “dibutuhkan”.

 

Dan yang menakutkan bagi gw di dalam novel ini, adalah piciknya skema kaderisasi yang menargetkan Karman sebagai mangsanya. Karman menjadi simpatisan partai komunis karena sudah diincar oleh Margo dan komplotannya. Mereka tahu gerak-gerik Karman, riwayat hidupnya, dan masalah yang sedang dihadapinya. Makanya, mereka tahu saat Karman sedang berada di titik terendah hidupnya, mereka masuk dan berhasil menjauhkan Karman dari orang-orang yang selama ini dekat dengannya. Karman yang sudah terpuruk juga terus dipupuk dengan paham-paham komunis, yang dibumbui dengan kebencian terhadap orang-orang. Ia yang tadinya bisa berpikiran logis dan rasional, sekarang mulai melibatkan amarah dan emosi di dalam setiap keputusan dan omongan yang dilontarkannya.

 

Kaderisasi tentu tidak salah, bahkan perlu untuk kebutuhan sebuah organisasi supaya bisa terus mengembangkan anggota baru demi perkembangan organisasi. Cuma, bagi gw kaderisasi yang dipupuk dari kebencian terhadap orang lain, tentu sudah menyimpang. Dari novel ini gw sadar betapa “sakti”nya perkataan Nabi Muhammad terdahulu, bahwa salah satu ukuran kekuatan orang adalah bagaimana cara dia saat menghadapi emosinya. Di novel ini telah jelas, bahwa emosi bisa membutakan pikiran-pikiran dan menghilangkan kebaikan-kebaikan yang telah diberikan orang lain selama masa hidup Karman. Maka beruntunglah bagi mereka yang telah bisa mengendalikan emosinya, dan tetap berpikir dengan kepala dingin.

 

Novel ini berhasil memberikan perjalanan utuh Karman, seorang manusia, dalam menjalani kehidupan dengan segala alur yang tidak disangka-sangka. Tokoh-tokoh di novel ini juga menurut gw bagaikan miniatur orang Indonesia pada umumnya, dimana mereka ramah, dan cepat sekali lupa. Meskipun novel ini pertama ditulis di tahun 80-an, isinya masih relevan untuk pemuda-pemuda tersesat seperti gw di masa sekarang, haha.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahaya

Mempertanyakan Yang Lewat di Depan mata

Lebih dari Membaca