Hal Yang Gw Pelajari Dari Membaca Novel Misteri!



Judul               : And There Were None; One, Two, Buckle My Shoe


Penulis             : Agatha Christie


Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama


Kota terbit       : Jakarta


Tahun terbit    : 2014


Tebal halaman : 282 & 280 halaman


Halo semua, selamat lebaran dan selamat berkumpul dengan keluarga semua. Lebaran tentu menjadi momen yang pas untuk bisa bertemu dengan keluarga, terutama saudara-saudara yang jauh. Sebagai orang Jawa, gw pun terbiasa mudik ke kampung halaman dan bersama saudara yang lain akan berkumpul di rumah nenek. Seru, rame, kita bisa jadi catch up dengan kegiatan saudara kita dan ngobrol setelah sebelumnya mungkin jarang berinteraksi.


Namun, tentu saja pasti dalam beberapa kesempatan, ada periode kosong yang harus kita isi, alias waktu gabut! Karena gw orangnya kurang suka buat scroll TikTok, sebenarnya gw lebih memilih untuk baca buku di waktu luang. Cuma, kan ribet ya, kalau misal ketika lebaran kita bawa-bawa buku banyak. Mana seringnya ketika mudik bawaan lain seperti baju juga sudah menumpuk, haha. Makanya beruntung, gw punya akses ke beberapa layanan penyedia e-book seperti iPusnas atau Gramedia Digital, sehingga kalau mau baca tinggal bawa HP aja.


Awalnya gw bingung mau baca apa. Waktu itu gw mau baca sesuatu yang cukup ringan, kira-kira bisa dibaca cepet, dan seru! Beruntung gw inget kalau dulu pernah ketagihan baca novel misterinya Agatha Christie, dan gw carilah buku-buku dia lainnya, dan beruntung bisa dapat dan minjem!


Hasilnya, wah gila sih. Saking ketagihannya, selama lebaran itu gw bisa habis 1 novel misteri dalam 1 hari! Ini tidak lepas dari kerennya teknik penulisan Agatha Christie yang bisa bikin cerita “seru banget”. Udah lama deh, gw gak ngerasain “baca tapi gak berhenti-berhenti”, hahah. Perasaannya ketika baca jadi campur aduk, antara seru, ngeri, dan lega ketika tahu siapa pembunuhnya atau ketika menyelesaikan satu cerita.


Awalnya gw pingin menulis resensi dari dua cerita yang gw baca, yaitu “And There Were None” dan “One, Two, Buckle My Shoe”. Namun, saking menikmatinya cerita ini gw sendiri jadi bingung poin-poin apa aja yang mau gw ulas, haha. Akan tetapi, selama membaca gw juga kepikiran beberapa hal soal cerita ini. Sebab, kalau bicara membaca cepat, sebenarnya gw sendiri bukan tipe orang yang ketika baca buku bisa menghabiskannya dalam waktu cepat. Buktinya, di rak lemari gw ada beberapa buku yang sampai sekarang gw gak tahan buat bacanya, karena memang gak seru aja. Tetapi, gw mikir kalau misal gw bisa baca cepat, berarti cerita ini “memang dibangun untuk dibaca cepat, kan”, alias seru! Makanya, sebagai seorang bakal penulis, sedikit banyak gw bisa mempelajari beberapa teknik yang dipakai Agatha Christie untuk membuat pembacanya anteng ngikutin cerita detektifnya sampai akhir. Jadi inilah, beberapa hal yang gw pelajari!


Yang gua pelajari dari “And There Were None”


1. Showing, not telling

Dalam “And There Were None”, kita disuguhkan novel thriller misteri dengan latar klasik, atau cenderung seperti templat: pada sebuah tempat (pulau terpencil), orang-orang berkumpul dan pasti pada suatu ketika akan terjadi serentetan pembunuhan. Setting seperti ini tentunya bukan hal baru dalam novel-novel misteri pembunuhan. Namun, dengan setting itu nyatanya penulis tidak serta merta pada asumsi pembaca dan perlahan-lahan mereveal bagian ceritanya. Misal: 1) dengan setting seperti di atas, bisa saja kita sebagai pembaca langsung berasumsi bahwa pembunuhnya ada di antara 10 tokohnya. Kenyataannya, di dalam cerita kesimpulan tersebut didapat setelah semua tokoh melakukan investigasi menyeluruh di pulau untuk membuktikan "tidak ada siapa-siapa selain mereka". Dengan begitu, penulis bisa lebih leluasa memainkan dinamika dan ketegangan serta membangun kengerian yang nantinya menjadi pondasi bagi bagian-bagian cerita selanjutnya. 


2) Ketika terjadi pembunuhan pertama dan kedua, tokoh tidak langsung menyimpulkan bahwa terjadi pembunuhan, tetapi juga menimbang kemungkinan lain karena penyebab kematian di awal adalah keracunan/overdosis. Barulah kesimpulan bahwa 2 tokoh pertama memang dibunuh, bukan lainnya, didapat setelah tokoh menyelidiki dan menimbang berbagai kemungkinan lain. Bahkan, penulis menciptakan tokoh Armstrong, yang merupakan seorang dokter, untuk memastikan berbagai kematian yang terjadi selama jalannya cerita.


Seperti pepatah lama, dengan show, dan bukan tell, gw sebagai pembaca tentunya merasa lebih diajak oleh Christhie untuk ikut menginvestigasi kejadian yang terjadi tiba-tiba itu. Tentunya, penulis jadi bisa lebih bermain dan menciptakan keseruan selama cerita. Kan gak seru ya, semisal tiba-tiba ada tokoh “maha tahu” yang sekonyong-konyong bilang “oh dia mah begini, dia begitu” tanpa ada upaya yang terlihat untuk mencari kebenarannya.



2. Penggunaan elemen-elemen ketegangan

Meskipun klise, tetapi elemen yang dipakai dalam penceritaan novel ini cukup efektif untuk membangun ketegangan. Misalnya, setelah para tokoh diantar ke pulau dengan menggunakan kapal, hari-hari selanjutnya mereka harus menghadapi kenyataan bahwa tidak ada kapal yang berlabuh di dermaga sehingga mau tidak mau mereka tidak bisa keluar dari pulau itu. Rumah yang mereka tempati juga penuh dengan persediaan makanan, namun ketika ada pembunuh yang berkeliaran di antara mereka, tentu tidak seorang pun kepikiran untuk makan. Lalu jangan lupakan hujan badainya yang membuat suasana semakin ngeri dan mencekam. Setting seperti ini nampaknya lazim ditemui di film/buku thriller misteri, dan memang masih terbukti efektif untuk membangun ketegangan. Bahkan di paruh akhir ceritanya, ketika tokoh-tokohnya sudah pada tewas dan sekarang para penyintas dilanda ketakutan, penulis susah-susah membuat suasana penerangan tempat tinggal para tokohnya hanya diterangi lilin. Teknik yang sama sepertinya sudah mulai lazim dipakai, misalnya di film “Pengabdi Setan 2” yaitu ketika tokohnya mengeksplorasi rumah susun hanya bermodal korek/sepercik api. Hasilnya, tegang!


3. Tarik ulur plot yang cerdas

Di awal, lewat kata pengantarnya sebenarnya pembaca sudah diberitahu bahwa pada akhirnya 10 tokoh dalam cerita tersebut akan meninggal semua. Tapi pertanyaannya, yang juga dikemukakan Christie, bagaimana membuat kematian mereka tidak konyol? Di sini gw merasa penulis pintar sekali memainkan tarik ulurnya. Di satu waktu, ada tokoh mati tiba-tiba. Beberapa kali, mati di saat tak terduga. Atau di kesempatan lain mati saat tokoh sedang berkumpul, atau 2 kematian berdekatan dengan tempo yang cepat. Permainan dan diversifikasi kali ini membuat tiap kematian seolah-olah datangnya tidak terduga, meskipun bahkan tiap-tiap penyebab kematian para tokohnya sebenarnya sudah diberitahu lewat sajak yang ditulis di bagian awal. Alhasil, selalu ada kesan yang ditinggalkan dari tiap-tiap kematian tokoh, sebab para tokoh membawa konsekuensi ketika mereka meninggal, seperti ketika pelayannya mati, maka sisanya jadi kesulitan makan. Begitu juga ketika dokternya tewas, maka tokoh yang lain jadi sulit untuk memastikan penyebab kematian karakter yang lain. Hal ini semakin membawa plot bergerak maju.


Lanjut, gw akan cerita tentang apa yang gw pelajari ketika membaca novel detektif gw yang kedua hari itu


Yang gw pelajarai dari “One, Two, Buckle My Shoe”

1. Penyekalaan (Scaling)

Semula cerita seolah hanya seperti kisah pembunuhan biasa. Di sinopsis, dikatakan bahwa hanya akan ada dokter gigi yang meninggal. Namun, ternyata cerita tidak berhenti di situ. Datang ada korban kedua, yang penyebab kematiannya pun masih samar. Lalu ternyata, ada lagi korba selanjutnya. Tentu secara jumlah, pembunuhan lebih dari satu orang dampaknya akan lebih besar ketimbang pembunuhan satu orang.


Selain itu, kisah yang semula dinarasikan seperti pembunuh acak, atau pembunuhan dengan alasan-alasan yang personal, misal karena dendam antara pasien dengan dokter, tiba-tiba membesar dan berkaitan dengan urusan urusan spionase serta kestabilan negara. Tentunya akan menarik ketika perlahan-lahan kita diajak untuk membongkar rahasia-rahasia pembunuhan, yang ternyata malah menyimpan rahasia yang lebih besar. Dengan begitu, konflik terasa tidak habis-habis dan ketegangan bisa berlanjut sampai akhir cerita. Meskipun di akhir, konfliknya diselesaikan dengan twist yang menarik, tetapi dengan langkah penulis “yang mau repot-repot” memperbesar skala masalah sepanjang jalannya cerita terbukti cukup efektif untuk menuntun dan menarik pembaca supaya ikut sampai akhir.


Jadi itulah beberapa hal yang gw pelajari selama membaca buku. Kira-kira, kalau baca buku misteri untuk sekadar seru-seruan atau buat cari-cari referensi ya? Sampai ketemu lagii


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahaya

Mempertanyakan Yang Lewat di Depan mata

Lebih dari Membaca