Menceritakan Keberanian dengan Mengejar Layang-Layang

 



Judul               : The Kite Runner

Penulis             : Khaled Hosseini

Penerbit           : Terjemahan bahasa Indonesia oleh Mizan

Kota terbit       : Jakarta

Tahun terbit    : 2003

Tebal halaman : 492 Halaman

 

 

The Kite Runner adalah novel bergenre coming of age yang mengikuti kisah hidup dari tokoh utamanya, Amir bersama sahabatnya Hasan. Hasan yang berdarah Hazara sebetulnya adalah pelayan dari Amir yang merupakan orang Pashtun. Namun, karena ketertarikan mereka yang sama akan bacaan, mereka menjalani hubungan persahabatan yang erat sedari kecil. Amir yang digambarkan sebagai seorang yang kreatif, suka menulis, namun terkadang takut dalam mengambil keputusan disandingkan dengan Hasan yang meskipun tidak bisa membaca dan menulis, tetapi terlihat lebih vokal dan berani daripada tuannya. Mereka berdua hidup di Negara Afghanistan yang mengalami berbagai gejolak politik pada masanya. Buku ini menyuguhkan berbagai peristiwa dan dinamika seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Amir bersama Hasan. Pada masa anak-anak, kita diajak untuk mengunjungi berbagai keindahan yang ada di Afghanistan. Barisan bukit dan taman-taman bunga, serta lezatnya berbagai makanan di sana. Cerita beranjak sampai karena suatu kejadian, Amir beserta keluarganya terpaksa meninggalkan Afghanistan.

 

Menciptakan Setting yang Otentik

Novel ini mampu menjadikan Afghanistan beserta berbagai gejolak politik yang terjadi di dalamnya begitu melekat pada tokohnya dan bukan tempelan semata. Pembaca diajak untuk mengikuti gunjang-ganjingnya Afghanistan, mulai dari runtuhnya kesultanan, penjajahan oleh Rusia, sampai naiknya Taliban ke tampuk kekuasaan.

 

Dalam cerita, karakteristik “orang-orang” Afghan yang dibawakan juga cukup konsisten. Orang-orang Afghan, terutama pria, digambarkan sebagai orang yang sangar, garang, teguh pendirian, bahkan cenderung keras kepala. Watak ini dibawakan oleh beberapa tokoh seperti Baba, Rahim Khan, dan Jenderal Taheri. Makanya, kehadiran Amir dengan pergolakan batin dengan Babanya juga sekaligus menantang norma-norma yang dianut oleh orang-orang Afghan. Amir yang lebih suka menulis, membaca, dan cenderung diam berkali-kali berupaya untuk menarik simpati Babanya yang lebih menyukai anak laki-laki yang maskulin, artinya mengerjakan pekerjaan kasar seperti bertani, berkelahi. Maka dari itu, paruh pertama pada cerita penulis mampu dengan luwes menggambarkan konflik batin antara Amir dan Baba, serta perjuangannya dalam berupaya memperoleh pengakuan dari Babanya.

 

Meskipun begitu, tokoh Baba dalam novel ini tidak serta merta digambarkan sebagai tokoh “hitam putih” yang hanya bisa marah-marah dan keras saja. Baba ternyata digambarkan juga sebagai tokoh yang pengasih, serta memiliki kompleksitasnya sendiri dalam menyayangi anak-anaknya. Begitu pula Amir. Meskipun cenderung “diam”, tetapi dalam beberapa kesempatan dia pun mampu menunjukan keberanian dan ketegasan khas orang-orang Pashtun. Penokohan seperti ini yang membuat masing-masing karakter tidak monoton, sehingga terus terbangun konflik dan ketegangan dari dua kutub watak yang sama-sama berlainan.

 

Alur dengan Payoff yang Luar Biasa

Dari segi alur, sejujurnya gw merasa penceritaan di bagian awal novel cukup berjalan lambat. Pada 10 bab awal pembaca disughi berbagai keluguan dan romansa anak-anak. Bagaimana Amir dan Hasan mendaki gunung, berkeliling kota, jalan-jalan, dan yang terpenting barang kali, menceritakan asal-usul dari judul novel ini, yaitu ketika mereka berdua main layang-layang.

 

Namun, konflik seketika memuncak setelah Amir memenangkan kompetisi layang-layang yang diselenggarakan di desanya. Setelah sebelumnya gw menanti-nanti bagaimana resolusi antara konflik Baba dengan Amir, momen ketika Amir membawa layang-layang biru terakhir itu semula terasa seperti payback yang bagus, namun kerennya ternyata payback itu ternyata harus terhalang karena kejadian yang menimpa Hasan setelah lomba.

 

Baru setelah itu gw merasakan keseruan ketika membaca Kite Runner, karena selepas lomba itu, rentetan kejadiannya adalah konflik yang dibalas lagi dengan konflik.

 

Dari sisi lain, gaya penceritaan ini cocok dialegorikan dengan ungkapan tokoh Ibu Amir yang berkata, “Kebahagiaan yang besar akan diikuti oleh kesedihan yang amat.” Kira-kira begitulah yang dirasakan oleh tokoh Amir. Ketika dia menikah misalnya, bertemu dengan Soraya, istrinya yang perhatian dan pengertian, pasangan itu ternyata tidak dikaruniai anak. Ketika kemudian Amir telah berhasil menjadi penulis yang terkenal, kejadian lain menyebabkan dia harus bertaruh nyawa untuk kembali ke negara asalnya, ke Afghanistan.

 

Sementara itu, kontras terjadi pada tokoh Baba yang bisa senantiasa menjalankan keyakinannya sebagai orang Pashtun yang “tegas, idealis, dan keras” tanpa mengalami kesulitan berarti. Gw sempat dibikin tegang ketika Amir dan Baba akan melewati perbatasan Afghan dan Pakistan namun dihalang oleh petugas di perbatasan sana. akibat idealismenya, hampir saja Babanya ditembak oleh petugas itu, kalau saja tidak ada nasib baik yang menolongnya. Begitu pula di kejadian-kejadian lain ketika Babanya hidup di luar Afghanistan, namun masih berusaha kukuh mempertahankan idealisme dari negara asalnya. Konflik ini yang menjadikan dinamika antara bapak dan anak semakin menarik, karena nyatanya hubungan mereka tidak tentu membaik setelah perlombaan layang-layang tadi.

 

Di bagian lain, penulis lewat Amir juga menyampaikan ketidaksetujuannya tentang cerita yang klise. Namun, menurut gw, cara penyelesaian konflik Amir ketika di Afgan justru merupakan sebuah klise. Kita lihat, ketika selesai berduel satu lawan satu dengan Assef, Amir bisa dengan mudahnya keluar dengan Sokrab dan langsung dilarikan ke rumah sakit di Pakistan. Artinya, dalam perjalanan dia harus melewati kawasan yang dipenuhi oleh Taliban. Namun, mungkin penyelesaian seperti inilah yang disukai oleh pembaca. Seperti misalnya, pada film “Get Out” besutan Jordan Peele, kita ketahui bahwa pada bagian akhirnya, Chris diselamatkan oleh kawan polisinya, Rod Williams, setelah dia berusaha kabur dari keluarga ras putih yang ingin mengambil alih tubuhnya. Ending ini memiliki beberapa kelemahan, sebab sepak terjang Rod dalam mencari alamat temannya itu tidak begitu diperlihatkan selama jalannya film. Beberapa bulan setelah film itu tayang, di Youtube tersebar ending alternatif dari adegan itu, yaitu ketika polisi yang datang ke TKP adalah polisi rasis yang kita temui di awal film. Meskipun sekilas ending kedua terlihat lebih mungkin dan masuk akal, Jordan Peele sendiri mengakui kalau keputusan untuk mengambil ending pertama pada film akhirnya lebih karena ingin memberikan penonton “ruang untuk bernapas” setelah sebelumnya penonton disajikan pada klimaks film yang berlangsung tegang.

 

Memang sih, pada bagian akhir novel Kite Runner ini, gw pun berpikir bahwa Amir, jika salah langkah sedikit saja di Afghanistan, bener-bener bisa “kena tembak” dan meninggal di sana. Meskipun agak klise, tapi gw juga mengaku senang dengan penyelesaian konflik Amir di Afghanistan.

 

 

Keinginan untuk Berlaku Rasional

Konflik lain yang dibawa dalam novel ini juga adalah, apakah seseorang harus bertindak sesuai dengan rasionalitas, atau keberaniannya? Lewat tokoh-tokoh orang Pashtun tadi, mereka yang berwatak keras juga berlaku sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Tokoh-tokoh dalam novel, terutama orang-orang Afghan, banyak sekali melakukan tindakan romantisasi yang mungkin bagi masyarakat modern, terlihat atau dipandang “buat apa sih?” Misalnya berani bertindak ketika melihat teman dipukuli oleh para pembuli, atau membela wanita miskin yang diancam oleh orang lalim.

 

Dalam pandangan gw, untuk beberapa kesempatan, sebelum bertindak tentu kita harus menimbang-nimbang kemungkinan atau dampak yang diperoleh dari hasil perbuatan tersebut. Kira-kira inilah yang menjadi landasan berpikir dari tokoh utama, Amir. Namun, hal ini ditentang oleh tokoh Baba yang selalu dengan gagah berani berdiri di depan, menantang ketidakadilan.

 

Banyak karya seni, seperti buku atau film dewasa ini lebih suka mengambil rute “rasional”, yaitu ketika tokoh utama memilih untuk ikut dengan keadaan, karena merasa nyawanya akan terancam. Pada film 7 Prisoner misalnya, di bagian akhir cerita sang tokoh utama, Matheus lebih memilih untuk bergabung dengan Luca sebagai mandor bagi pekerja kasar. Keputusan ini tidak lepas dari kenyataan yang dialaminya, yang sepanjang film ditunjukkan dengan perubahan drastis tokoh yang semula adalah orang desa yang lugu dan optimis, menjadi orang kota yang oportunis.

 

Namun, hal yang berbeda justru diambil oleh Khalid Hosseini dalam Kite Runner ini. Amir, pada bagian akhir cerita mencoba untuk “Lumat dalam Bahaya”, kembali ke kampung halamannya demi menyelesaikan urusan dengan Hassan, kawan lamanya. Semula gw sempet sebal, kenapa dia mau repot-repot membahayakan nyawanya, pergi ke Afghanistan yang masih berperang padahal dia sudah punya pekerjaan yang bagus, rumah bagus, serta istri yang menunggunya pulang. Sesuatu yang mungkin akan lebih realistis dilakukan jika di dunia nyata.

 

Namun, agaknya, sesuatu dalam hati kecil gw pun berharap kalau kita dapat sama-sama memberanikan diri dalam bahaya, mengambil sedikit keberanian dan berdiri untuk mempertahankan nilai yang kita yakini benar.

 

Terakhir, gw suka dengan ungkapan di buku ini, yaitu “Untukmu, keseribu kalinya.” Ungkapan ini semula diucap oleh Hasan untuk menunjukkan kesetiaannya kepada Amir, lalu diucap kembali oleh Amir di akhir buku sebagai penanda awal babak baru dalam kehidupannya. Gak tau kenapa, belakangan sering terdengar ungkapan dengan angka yang mungkin mirip-mirip dengan itu, seperti “I love you 3000”nya Tony Stark, atau di Attack on Titan juga pernah menamai episodenya dengan “For you, 2000 years ago”. Namun, dari ketiga ungkapan itu, bagi gw yang bikin cukup merinding adalah ungkapannya Kite Runner tadi sebab ketika membaca kalimat itu di akhir, kita diajak untuk mengingat kembali kesulitan apa yang dialami oleh Amir dan Hasan.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahaya

Mempertanyakan Yang Lewat di Depan mata

Lebih dari Membaca