Merasakan Gurihnya Kretek Gadis
·
Judul :
Gadis Kretek
·
Penulis : Ratih Kumala
·
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
·
Kota terbit :
Jakarta
·
Tahun terbit :
2012
·
Tebal halaman : 284 Halaman
·
Lama baca : 2 hari
Gw berkenalan dengan Ratih Kumala setelah sebelumnya gw baca Cantik
Itu Luka karya Eka Kurniawan, yang ternyata suaminya. Gw langsung ngerti
waktu itu kenapa Eka Kurniawan banyak disukai dan disebut-sebut dalam
forum-forum sastra di medsos. Gw ga menampik kalau dalam proses baca novel ini
gw teringat-ingat sama Eka, suatu hal yang aneh sebab ini bukanlah novel yang
ditulis sama dia. Cuma, perkenalan gw dengan Ratih Kumala lewat Gadis Kretek
berujung menyenangkan, dan sebagai penulis tentu baik Ratih maupun Eka
punya gaya dan ciri khasnya masing-masing.
Pada bagian awal, novel berfokus pada cerita masa muda dari Idroes
Moeria, seseorang dari Kota M yang merintis usaha kretek, yang kelak menjadi
orang tua dari Dasiyah, sang “Gadis Kretek”. Saat cerita digambarkan dengan
kacamata Idroes Moeria, cerita muncul dengan segala romantismenya, bagaimana
susahnya Idroes yang merintis usaha kreteknya dari nol setelah tempat usaha
kolobotnya (kolobot itu rokok dari kulit jagung btw) dibabat tentara jepang,
sampai perjuangannya meminang Roemaisa sang Anak Juru Tulis. Idroes bersaing
dengan rekan sejawatnya, Soedjagat untuk mendapatkan Roemaisa. Humor persaingan
ditaruh dengan cerdas di sana sini. Idroes digambarkan penuh dengan karisma,
ide, pekerja keras, sehingga akhirnya bisa meminang dan membesarkan usaha
kreteknya setelah ia ditawan oleh Jepang ke Soerabaia.
Namun novel ini menyingkap lapis pertamanya, lewat penuturan Karim saat
dia dengan dua saudaranya mencari siapa itu Jeng Yah, orang yang namanya
disebut Romonya saat mau meninggal. Dari sudut pandang mereka (yang ternyata
cucu dari Soedjagat), Idroes justru dipandang sebagai peniru, perebut pacar
orang, dan orang tidak tahu diri yang kabur dari sergapan Jepang saat istrinya
sedang hamil.
Dengan disuguhkan perspektif baru tersebut, gw yang “diajak” untuk membenci Soedjagat yang sering dianggap meniru kretek Idroes, mulai ragu dengan keabsahan cerita dari Idroes. Apalagi, cerita dari Idroes disampaikan pakai sudut pandang orang ketiga alias berupa narasi dari penulis sendiri, sementara cerita dari Soedjagat disampaikan lewat penuturannya ke cucunya, Karim. Gw udah feeling apa iya novel ini bakal membahas sejarah dengan berbagai “versinya”? Ntah versi siapa yang benar, toh juga ini cuma sekadar persoalan “kretek”, kan?
Novel “Gadis Kretek” hadir dengan segala kesederhanaan yang beriringan
dengan interpretasinya yang bebas. Lewat cerita yang memacu gw untuk
menuntaskan buku ini dalam sehari, menurut gw Ratih Kumala berhasil untuk
mengajak pembaca larut dan “menghisap kreteknya.”
Gw suka dengan gaya cerita yang cenderung straightforward, to
the point tapi masih suka memberikan kejutan-kejutan. Novel ini jelas
berbeda jika dibandingkan dengan Cantik Itu Luka-nya Eka, yang dalam
bagiannya sering menyajikan unsur-unsur eksplisit. Pada beberapa bagian, kalau
mau, gw rasa penulis bisa mengambil arah ke sana. Misal ketika Jeng Yah
ditangkap oleh simpatisan negara yang ternyata adalah anak dari juragan kretek
yang dulu lamarannya dia tolak. Setelah disekap, mungkin saja (kalau Eka)
cerita akan dibawa ke arah “sana”. Cuma gw senang cerita tidak dibawa ke sana,
heheh. Anggeplah ini preferensi gw aja, cuma agak aneh sih kalau tiba-tiba
dibawa ke sana.
Menurut gw, novel novel ini punya berlapis-lapis interpretasi. Bisa
jadi, dibalik ceritanya yang sederhana, ada pertentangan generasi yang disembunyikan
lewat tiga bersaudara Tegar, Karim, dan Lebas. Tegar mewakili generasi lama
yang “selalu serius” dan cenderung lurus serta protokoler. Karim, sesuai dengan
urutan lahirnya, menjadi orang yang selalu menengahi urusan antara yang tua dan
yang muda. Juga Lebas, si bungsu dengan segala kebebasannya, mudah bosan dengan
apa yang ia kira menjadi minatnya, lebih memilih untuk hidup dengan kebebasan
tanpa ada embel-embel tugas perusahaan yang mengaturnya, menurut gw cocok
dengan sifat generasi milenial.
Gw merasa mirip dengan Lebas. Sebagai generasi yang mudah bosan, mau
hidup semaunya, dan punya mimpi yang tidak terbatas pada material uang, tetapi
pada kebebasan idealisme yang diwujudkan dalam satu dan lain hal. Secara tidak
langsung, lewat Lebas yang terkesan “urakan” di dalam novel, penulis juga
menitipkan ajakan kepada teman-teman generasi sekarang, bagaimanapun kurang dan
perangainya, memikul peran penting untuk “meluruskan” sejarah.
Sekarang, gimana? Soeraja, pemilik Kretek Djagad Raja yang paling besar
seantero negeri itu, apakah ia seorang yang penuh dengan romantisme dan
kemahiran dalam dunia perkretekan, atau sekadar bujangan (bajingan) yang
beruntung? Kau lebih percaya “sejarah” versi yang mana?
BTW gw bacanya gratis lewat aplikasi iPusnas. Kalau ada yang penasaran, langsung download aja appsnya
BalasHapus