Pengalaman Memotong Senja Untuk Pacarku

 

 


Judul               : Sepotong Senja Untuk Pacarku

Penulis             : Seno Gumira Ajidarma

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama

Kota terbit       : Jakarta

Tahun terbit    : Cetak ulang tahun 2016

Tebal halaman : xii + 208 halaman

Lama baca       : 3 hari

 

“Aku sering memandang senja dan memandang apa saja dari tempat Sukab, tapi aku tidak tahu apakah aku melihat apa yang dipandang Sukab.”

Bolong, Halaman 86


“Sepotong Senja Untuk Pacarku” adalah buku Seno Gumira Ajidarma pertama yang gw baca. Cuma, pertemuan gw dengan buku ini bukan di toko buku, melainkan video youtube Abimana Aryasatya yang membacakan salah satu cerpen di buku ini, “Sepotong Senja Untuk Pacarku.” Alhasil gw berandai-andai jadi “mas-mas” dengan deep voice yang maskulin. Cuma apa daya, suara gw lebih lari ke arah cempreng hahaha.

 

Dari video itulah gw penasaran, apa aja yang ditawarin sama bukunya? Terlebih kalau lihat judul bukunya kan, “wah” banget ya. Bisa juga nih bukunya untuk dikasih ke doi terdekat. Alhasil buku ini gw beli di tahun 2019, dan 2 tahun kemudian gw baru sempat mendalami senjanya Seno lagi.

 

Buku ini terdiri dari 3 bab: Trilogi Alina, Peselancar Agung, dan Atas Nama Senja yang kalau ditotal ada enam belas judul cerpen di buku ini. Masing-masing cerpen cukup singkat untuk dibaca (ya iyalah), dan masing-masing cerita kira-kira ditulis dalam sepuluh halaman. Dalam prolognya, Seno menulis kalau tiap-tiap cerpen laksana sebuah “potongan pizza”. Pembaca bebas mengartikan makna “senja” nya masing-masing dan mengaitkan cerita sesukanya seperti jika kita memakan pizza. Namun tiap cerita juga bisa berdiri sendiri dengan taya tariknya masing-masing.

 

Dari enam belas judul cerpen, mereka memiliki satu tema besar yang menghubungkannya. Senja. Pembaca diajak untuk menikmati senja dari berbagai latar. Cerita pertama dalam kumpulan cerpen ini menurutku punya dampak yang cukup kuat untuk mengatur mood cerita-cerita selanjutnya, dimana tokohnya, Sukab, menggunting senja yang dia lihat demikian indahnya untuk dia berikan kepada pacarnya, Alina. Pembaca diajak bertualang dengan Sukab, meladeni kekacauan yang timbul akibat orang-orang kehilangan senjanya, dan menemukan senja lain di gorong-gorong yang gelap. Setelah itu cerita dilanjutkan dari sudut pandang Alina, yang setelah 10 tahun lamanya baru menerima senja kiriman Sukab, sebab tukang pos pengantar suratnya tidak sengaja membuka amplopnya Sukab dan terhisap masuk ke dunia di dalam amplop.

 

Itu baru cerpen di dalam Trilogi Alina. Dua bab lain, Peselancar Agung dan Atas Nama Senja punya senja-nmya masing masing. Mulai dari Senja di rumah panggung tepi pantai, senja dari peternakan kunang-kunangnya Sukab, sampai senja yang terdekat, dari pulau tanpa nama dan senja dari kaca spion.

 

Lalu apa makna senja yang hadir di novel ini? Bebas. Kalian artikan sendiri. Gw yang beli buku ini dari tahun 2019, dua tahun kemudian baru “sempat” menikmati sepotong senjanya Seno Gumira. Gw yang sudah menjadi salah satu penduduk “kota di mana pelangi tidak pernah memudar” ini lupa, kalau kesempurnaan senja justru terletak pada dirinya yang hanya muncul sesaat dan membuat kagum para penunggunya. Kesempurnaan senja ada pada dirinya yang hadir sebagai batas, momen yang membuat orang berhenti dari hiruk pikuk dunia paginya, untuk mengapresiasi senja yang hanya muncul sekejap, sebelum dunianya ditelan oleh kegelapan yang larut.


Terlepas dari segala alegori yang dibawa di dalam buku ini, kritik sosial, politik, cinta, dan sebagainya, menurut gw buku ini harus kembali kepada tujuan awalnya: menikmati senja. Di masa sekarang orang sudah terlalu sibuk dengan pagi dan siang harinya, sampai lupa caranya untuk menikmati senja. Lewat buku ini, kita diingatkan kembali untuk berhenti sejenak. Di rumahmu, pantai, spion motor, dimana pun, untuk melihat apa yang senja tawarkan kepada kita makhluk yang sibuk bekerja. Sebab waktu pertama gw baca buku ini, gw sempat terkungkung dengan stigma “sastra” yang sering dicari makna tersiratnya apa. Tapi beruntung Sukab mengingatkan gw kalau sudah terlalu banyak kata-kata di dunia. Kata-kata tanpa makna 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahaya

Mempertanyakan Yang Lewat di Depan mata

Lebih dari Membaca